Alkisah di sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, terdapat sebuah pemerintah yang menobatkan dirinya sebagai penjaga kesejahteraan rakyat. Namun, di balik kilau yang memikat itu, tersembunyi panggang-geng korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Raja dari negeri ini, yang dikenal sebagai Presiden Deria, mengumpulkan segala kekuasaan. Namun, kekuasaan yang dimilikinya bukanlah untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya untuk memperkuat oligarki keluarganya.

Suatu hari, di tengah kegalauan rakyat yang merindukan keadilan, muncul sosok pemberontak bernama Arga. Dia adalah seorang jurnalis muda yang penuh semangat, bertekad untuk membongkar ketidakadilan yang mengakar. Dengan pena dan catatan, Arga mulai menelusuri jejak-jejak korupsi yang membentang dari gedung pemerintah hingga ke perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh keluarga Deria.

Melalui investigasi yang mendalam, Arga menemukan skandal besar proyek infrastruktur yang seharusnya mensejahterakan rakyat, justru jadi ladang korupsi bagi para pejabat pemerintah. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun jalan raya dan sekolah, malah mengalir deras ke kantong pribadi mereka.

Arga mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti tersebut, dan dengan berani mempublikasikannya melalui portal berita underground. Artikel-artikelnya menarik perhatian rakyat yang mulai membuka mata. Teriakan protes mulai menggema di jalanan, harapan baru tampak tiba. Namun, mesin kekuasaan yang dikuasai Deria tidak tinggal diam. Dengan cepat, mereka menggunakan perangkat hukum untuk menyerang balik.

“Pemberontakan ini harus dihentikan!” teriak Menteri Hukum, sambil menunjuk ke arah Arga dalam sebuah sidang yang mengada-ada. Tak lama, Arga ditangkap dengan tuduhan menghasut rakyat dan merusak stabilitas negara. Namun, alih-alih memadamkan semangat rakyat, penangkapan Arga justru membakar api perlawanan yang lebih besar.

Sosok Arga yang kini menjadi simbol perlawanan, memicu gelombang demo dan aksi yang meluas. Rakyat bersatu, menyuarakan ketidakpuasan mereka atas pemerintahan yang korup. “Kami bukan budak!” teriak mereka, mengingatkan Deria bahwa kekuasaan dipegang oleh rakyat, bukan oleh dinasti keluarga dan oligarkinya.

Menyadari posisinya yang terancam, Deria mengerahkan segala daya untuk tetap berkuasa. Dia menciptakan banyak propaganda dan menggunakan media mainstream untuk membenarkan setiap tindakannya. “Semua ini demi keamanan bangsa,” begitu dalihnya. Namun di luar gedung-gedung megah itu, rakyat merasakan penderitaan yang semakin mendalam—harga sembako melangit, pendidikan semakin tidak terjangkau, kriminalitas menjadi-jadi dan korupsi yang semakin merajalela.

Di tengah perlawanan itu, Arga, dari balik penjara, terus memberikan inspirasi. Setiap kali suratnya berhasil bocor ke luar, semangat rakyat semakin menguat. “Rakyat adalah kekuatan utama,” tulisnya di dalam surat-suratnya. Pesan itu menjadi mantra, membangkitkan kesadaran akan hak-hak mereka.

Pemberontakan rakyat semakin membesar, bergerak ke arah Istana Presiden. Mereka tak lagi gentar menghadapi kekuatan keamanan yang diluncurkan oleh pemerintah. Dalam sebuah momen bersejarah, ribuan orang berkumpul di depan Istana, meneriakkan keadilan sembari membawa spanduk yang bertuliskan “Kami butuh pemimpin, bukan penghisap, singkirkan penghianat negara!”

Merasa terdesak, Deria akhirnya memutuskan untuk bernegosiasi. Pemimpin oposisi yang sempat ditangkap, kini dihadirkan dalam dialog terbuka, laksana sinar harapan bagi rakyat. Deria pun terpaksa mengakui bahwa seluruh kecurangan yang dilakukannya selama ini tidak bisa terus ditutup-tutupi.

Hari itu, Arga dibebaskan, dan bersama dengan masyarakat, mereka berjanji untuk membangun kembali negeri mereka yang penuh harapan. “Negeri ini bukan milik oligarki, dan dinasti keluarga tetapi milik kita semua. Kita akan menjaga agar korupsi tidak akan pernah lagi menggerogoti tempat ini,” seru Arga di hadapan rakyatnya.

Pemberontakan di negeri maling itu tidak hanya menyemai harapan, tetapi juga menegaskan pentingnya suara rakyat dalam pemerintahan. Mereka sadar, revolusi tidak hanya tentang melawan, tetapi tentang meraih kembali kekuatan yang sempat hilang.

Pemberontakan itu pun menjadi pelajaran bahwa korupsi dan kekuasaan yang semena-mena tidak akan bertahan selamanya di hadapan keinginan tulus rakyat. Dan di tengah badai itu, lirik perubahan seakan berbisik, “Kita adalah pemberontak di negeri maling, dan kita tak akan pernah mundur demi untuk kesejahteraan rakyat.”

Cerita ini diambil dari sebuah mimpi seorang pemberontak dinegeri Maling. Penulis cerita Yakob KM Ismail seorang pengarang lepas yang merindukan kedamaian dan kesejahteraan dalam negerinya.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *