Di negara kita, kemajuan teknologi yang sangat canggih menyebabkan banyak berita yang sulit untuk dipastikan kebenarannya. Apakah berita tersebut benar dan layak disebarluaskan, ataukah hanya merupakan propaganda untuk kepentingan tertentu? Di sinilah pentingnya menggunakan akal sehat dalam mencerna dan mendapatkan berita yang bermanfaat. Dalam konteks ini, berbagai istilah baru muncul dan menjadi topik perbincangan yang hangat, khususnya terkait penggunaan istilah “akal sehat,” baik dalam perdebatan maupun tulisan yang muncul di media massa.
Kepopuleran istilah akal sehat saat ini telah menjadi patokan bagi masyarakat dalam mengevaluasi informasi yang diterima. Istilah ini sering digunakan untuk mengajak orang berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang belum terverifikasi kebenarannya. Dalam era digital saat ini, di mana berita dapat menyebar dengan sangat cepat, kemampuan untuk memilah informasi yang valid menjadi sangat krusial.
Pentingnya akal sehat juga tercermin dalam cara kita memanfaatkan media sosial. Selalu teliti setiap informasi dengan bijak sebelum membagikannya kepada orang lain. Dengan cara ini, kita dapat berkontribusi dalam mencegah penyebaran berita palsu yang dapat merugikan banyak orang. Edukasi mengenai literasi digital juga sangat penting agar masyarakat lebih waspada dan terampil dalam mengenali informasi yang dapat dipercaya.
Dengan demikian, akal sehat bukan hanya sekadar istilah, melainkan sebuah prinsip penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam menghadapi arus informasi yang deras dan beragam. Mari kita terus mengasah kemampuan berpikir kritis kita agar dapat menjadi warga yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Dalam penggunaan akal sehat manusia, menunjukkan bahwa adanya penyimpangan pembusukan realita kehidupan. Dimana sering dikemukakan dalam debat dimedia massa, selalu dikemukan bahwa penggunaan akal sehat adalah sebuah pembenaran yang menjadi petunjuk dalam sebuah ketidakpercaan masyarakat sekarang ini.
Bagaimana tidak, masyarakat saat ini selalu disuguhi berita yang selalau menimbulkan ambiugitas berita dalam mengambil sebuah informasi. Adanya penyimpangan informasi yang disampaikan oleh beberapa media massa yang mempunyai kepentingan politiknya menimbulkan keresahan dimasyarakat.
Adanya kepentingan untuk memberikan informasi yang masuk akal (logis) walaupun dalam kontek keilmuan adalah sesuatu yang belum bisa dipertanggungjawabkan menjadi cara stretegi yang dipakai para politisi untuk merebut hati rakyat. Akhirnya, terjadi kesimpangsiuran berita yang ada didalam masyarakat.
Kondisi akal sehat yang telah tercemar tidak saja menyebarkan virus yang mengancam akal budi, tetapi juga melumpuhkan tekad membangun bangsa. Untuk itu butuh komitmen untuk menyehatkannya kembali.
Pertama, akal hanya bisa sehat ketika kegegabahan dalam menarik kesimpulan disadari. Kesadaran dimaksud, secara minimal mengetahui bahwa kesimpulan (consequence) disebut benar ketika ditarik dari premis yang (antecedence) valid. Sebaliknya, premis yang kacau dan menjebak hanya menggiring pada kesimpulan yang salah.
Sayangnya, kemampuan menganalisis premis sebagai pijakan mengambil keputusan kian menurun di era digital ini. Begitu mudahnya melansirkan informasi tanpa seleksi, menjadikan banyak hoaks bertebaran. Sudah pasti, dalam proses ini, akal sehat yang seharusnya memungkinkan orang berpikir secara kritis tidak berperan secara optimal. Penyehatan akal sehat, karena itu, dimaknai sebagai proses mengaktifkan kembali sikap kritis dalam menanggapi informasi.
Kedua, penyehatan akal budi dapat terjadi diawali dengan pengakuan akan adanya permasalahan. John Dewey, dalam How We Think (1933), bahkan menjadikan hal ini sebagai tahap awal penalaran. Itu berarti yang jadi pijakan semestinya kesadaran akan adanya masalah. Tanpa kesadaran itu, solusi kadang bersifat imajinatif belaka oleh minimnya kesadaran sebagai pijakan dasar.
Kenyataannya, kesatuan rasa atas masalah bangsa belum dianggap serius oleh para politisi. Mereka lebih fokus menggapai kekuasaan dengan harga berapa pun. Permasalahan akut berupa dekadensi moral tidak disadari sebagai masalah mendasar.
Ketiga, penyehatan akal tentu tak berhenti pada terwujudnya kemampuan manusia untuk dapat memutuskan pengetahuan yang benar tentang realitas konkret. Ia juga tidak sekadar proses yang berlabuh pada pengakuan bahwa apa yang diyakini juga dirasakan oleh banyak orang. Sampai di sini, akal sehat baru pada tahapan awal.
Yang semestinya jadi target bahwa akal sehat atau common sense bisa mengantar orang pada common good. Itu berarti bukan soal mempertontonkan kemampuan retoris untuk menghasilkan kebenaran hakiki, melainkan mendorong orang untuk mewujudkan konsep yang benar dalam aksi.
Penulis : Yakob KM Ismail, peneliti masalah sosial dan politik. Dosen Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin
