Indonesia terbentuk dari sebuah kesepakatan, sebuah persatuan seluruh rakyat dan wilayah yang pernah berada di bawah penjajahan kolonialisme Belanda.  Wilayah Republik Indonesia membentang luas, dari Sabang sampai Merauke, mencakup daratan dan kepulauan yang dihubungkan oleh lautan dan sungai. Sistem pemerintahannya adalah demokrasi, bukan otokrasi.  Padahal, secara historis, kawasan ini dulunya terdiri dari ratusan kerajaan dengan sistem pemerintahan otokrasi, yaitu sistem kekuasaan politik yang terpusat.

Sistem pemerintahan di mana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan seorang individu atau kelompok kecil tanpa terikat oleh hukum, konstitusi, atau batasan lainnya.  Kekuasaan mutlak dan tertinggi dijalankan.  Keputusan-keputusan politik dibuat oleh penguasa tunggal atau kelompok elit tanpa melibatkan partisipasi atau persetujuan rakyat. Itulah yang sering kita sebut sistem otokrasi.

Sistem otokrasi tidaklah dikehendaki, dan pilihan yang lebih tepat adalah demokrasi.  Otokrasi bahkan seringkali dipandang berseberangan dengan demokrasi.  Otokrasi ditempatkan sebagai pihak yang berlawanan,  sering dikaitkan dengan pemerintahan otoriter dan cenderung represif, di mana kebebasan individu dan hak asasi manusia dibatasi atau diabaikan.

Demokrasi dijunjung tinggi sebagai sistem pemerintahan modern yang progresif.  Demokrasi berupaya memastikan kekuasaan berada di tangan rakyat dan hak-hak individu terlindungi. Sistem pemerintahan yang bertentangan dengannya cenderung menekankan kontrol, otoritas terpusat, dan seringkali penindasan terhadap kebebasan sipil.

Demokrasi telah dipilih, tetapi rakyat sering kali hanya menjadi simbol, dan di Indonesia, hal ini seolah hanya bersifat simbolis. Meskipun para penguasa tidak lagi bergelar raja atau sultan, pemimpin negara kita disebut “Presiden.” Namun, praktik demokrasi saat itu sangat jauh dari prinsip-prinsip seharusnya. Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin (1959-1966), di mana ia memegang kendali penuh, pemilu dibatasi, partai politik kehilangan kekuasaan, dan militer berperan melindungi kekuasaan presiden.

Rakyat Indonesia belum siap untuk menerapkan demokrasi liberal seperti di negara-negara Barat. Kebebasan dan sekularisasi menjadi tantangan dalam demokrasi liberal, dan negara berusaha menghindari masyarakat yang terlalu bebas dan tidak beragama. Oleh karena itu, perlu ada penyesuaian prinsip-prinsip demokrasi sesuai kebutuhan dan kepentingan tertentu. Demokrasi terpimpin Soekarno ditolak, dan rakyat melawan, atau terpaksa melawan.

Akibatnya, ide-ide demokrasi terpimpin Soekarno digantikan oleh model demokrasi pemimpin berikutnya. Soeharto berhasil menggabungkan ide nasionalisme dan sosialisme Soekarno dengan kemarahan rakyat, membawa Indonesia pada tatanan demokrasi Pancasila. Demokrasi ini disesuaikan dengan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial yang menjunjung karakteristik masyarakat Indonesia. Namun, ambisi kekuasaan yang tidak terbatas dan keserakahan elit yang merampas hak rakyat memicu kemarahan, menyebabkan Soeharto lengser. Indonesia kembali pada kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi.

Sejak era Reformasi, diharapkan demokrasi di Indonesia menjadi dasar pemerintahan yang adil dan transparan. Namun saat ini, kondisi tersebut menghadapi tantangan kompleks yang memerlukan perhatian serius. Situasi ini mencerminkan realitas politik yang penuh dengan tantangan dan ketidakpastian, dengan berbagai masalah seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan dalam proses politik, dan ancaman terhadap kebebasan sipil, yang menunjukkan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia masih jauh dari ideal.

Korupsi Musuh Utama Demokrasi

Korupsi merupakan musuh utama demokrasi.  Korupsi telah mendorong ambisi untuk berkuasa lebih lama, sehingga menghambat kebebasan yang menjadi hakikat demokrasi.  Korupsi menjadi masalah besar yang terus mengancam demokrasi di Indonesia.  Walaupun telah dilakukan upaya pemberantasan korupsi, misalnya melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik korupsi masih meluas di berbagai lapisan pemerintahan.  Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi, anggota parlemen, dan pejabat daerah menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.

Korupsi sangat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga negara, dan menimbulkan ketidakpercayaan mendalam terhadap proses demokrasi.  Ketika pejabat publik mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, demokrasi kehilangan hakikatnya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Demokrasi Yang Tercederai

Pemilu merupakan mekanisme penting bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan memilih pemimpin.  Namun, di Indonesia, proses pemilu seringkali diwarnai berbagai permasalahan, seperti politik uang, manipulasi suara, dan kampanye hitam yang mungkin dilakukan oleh individu, kelompok, atau partai politik tertentu.  Saat ini, tidak ada lagi dikotomi partai politik protagonis dan antagonis.

Tokoh dan partai politik tampaknya silih berganti memainkan perannya. Sistem kepartaian tampak dibebani kepentingan pribadi atau golongan, yang sering mengutamakan perebutan kekuasaan daripada pelayanan publik.  Partai politik, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, seringkali menjadi alat bagi elit politik untuk mempertahankan kekuasaan. Pemilu, yang seharusnya menjadi perayaan demokrasi, berubah menjadi ajang persaingan yang tidak sehat, sehingga merusak integritas dan legitimasi proses demokrasi.  Lebih jauh lagi, pemilu ini terbukti mahal, tidak efisien, dan tidak efektif, yang pada akhirnya membuat rakyat apatis terhadap sistem pemilu dan demokrasi.

Kemudian, terjadilah berbagai permasalahan. Sistem demokrasi, sebagai sistem buatan manusia, memang rentan terhadap kesalahan. Mengapa kita harus menjalankan demokrasi? Terlebih lagi, negara-negara Barat yang mengklaim sebagai pelaksana demokrasi, seringkali justru menunjukkan penggunaan kekuasaan yang semena-mena.  Kepentingan tertentu seringkali menghalangi jalannya demokrasi. Opini media seringkali diarahkan untuk kepentingan Barat dan sekutunya. Diskriminasi dan rasisme sengaja dipelihara dan menimbulkan kebingungan.

Demokrasi Yang Lebih Baik

Kita semua memang sedikit merasa lelah dengan keadaan demokrasi saat ini.  Kita selalu bertanya-tanya, kapan demokrasi ideal dapat terwujud di negara tercinta ini.  Walaupun tantangan demokrasi di Indonesia memang besar, optimisme untuk perbaikan selalu ada.  Masyarakat sipil, akademisi, para aktivis, dan sebagian pejabat publik yang berintegritas terus berupaya menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan memperbaiki sistem yang ada. Reformasi sistem politik, penegakan hukum yang lebih baik, dan pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik, merupakan langkah-langkah yang perlu terus kita dukung.

Demokrasi yang mengalami kendala bukanlah akhir dari segalanya, melainkan panggilan untuk memperbaiki dan membangun sistem yang lebih adil, transparan, dan inklusif.  Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kolaborasi seluruh elemen bangsa untuk menciptakan pemerintahan yang benar-benar mewakili dan melayani rakyat.

Perjuangan mewujudkan demokrasi memang panjang dan membutuhkan kesabaran serta komitmen kuat dari seluruh pihak yang peduli pada masa depan bangsa. Marilah kita bersama-sama teguh menegakkan demokrasi di negara tercinta ini dengan optimisme dan patriotisme yang tinggi, selalu berjuang demi kemajuan dan kebahagiaan bangsa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Penulis : Yakob KM Ismail, Pengamat Sosial dan Politik, Alumni Ilmu Politik Universitas Indonesia

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *