Pancasila adalah fondasi utama bangsa Indonesia. Ia bukan sekadar simbol yang dihafalkan, melainkan pandangan hidup yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, sejak era Reformasi, nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan besar. Globalisasi, pergeseran budaya, serta derasnya arus informasi membuat ideologi ini kerap dianggap kehilangan daya rekatnya. Di sinilah lahirnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi langkah strategis negara untuk memastikan Pancasila tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat.

Pasca-Reformasi, pendidikan Pancasila di sekolah semakin berkurang, bahkan dianggap tidak lagi penting. Hal ini memunculkan kekosongan pemahaman ideologis di ruang publik. Generasi muda yang seharusnya menjadi penerus bangsa mulai jauh dari nilai-nilai Pancasila. Akibatnya, muncul potensi disintegrasi sosial, maraknya ideologi asing, dan pergeseran nilai ke arah materialistik maupun individualistik. Sebagai respon, pemerintah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) pada 2017, yang kemudian bertransformasi menjadi BPIP pada 2018 melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018. Perubahan ini bukan hanya soal kelembagaan, tetapi juga kesadaran negara akan pentingnya menjaga ideologi bangsa agar tidak terkikis oleh perubahan zaman.

BPIP lahir dari pengalaman bahwa UKP-PIP tidak cukup kuat dalam menjalankan mandatnya. Koordinasi dengan kementerian dan lembaga lain sering terhambat karena keterbatasan kewenangan. Dengan menjadi badan yang permanen dan langsung bertanggung jawab kepada Presiden, BPIP memperoleh posisi lebih strategis. Transformasi ini juga membawa paradigma baru. BPIP tidak lagi sekadar menyampaikan nilai Pancasila lewat seminar atau kegiatan seremonial, tetapi berusaha menginternalisasi nilai tersebut dalam kebijakan publik, pendidikan, hingga praktik sosial sehari-hari.

Sebagai lembaga negara, BPIP memiliki mandat yang luas namun krusial. Pertama, membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Kedua, melakukan koordinasi lintas lembaga agar nilai Pancasila benar-benar terintegrasi dalam setiap kebijakan. Ketiga, melaksanakan pendidikan dan pelatihan Pancasila melalui standardisasi kurikulum dan penguatan tenaga pendidik. Keempat, meninjau regulasi atau kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan Pancasila. Dalam praktiknya, BPIP telah mendiklatkan ratusan pengajar, menyusun buku teks Pancasila, hingga meninjau ratusan regulasi. Meski begitu, efektivitas lembaga ini masih sering diperdebatkan karena sifat rekomendasinya yang “bisa didengar, bisa juga diabaikan.”

Dalam Rencana Strategis BPIP 2020–2024 memuat berbagai program yang lebih adaptif dengan kebutuhan zaman. Beberapa di antaranya adalah pembinaan Paskibraka sebagai Duta Pancasila, pengukuran Indeks Aktualisasi Pancasila di daerah, serta pelibatan influencer dan content creator untuk menyebarkan nilai Pancasila melalui media digital. Langkah ini menunjukkan bahwa BPIP tidak menutup mata terhadap perubahan pola komunikasi masyarakat, terutama generasi muda yang lebih akrab dengan media sosial. Selain itu, BPIP juga berusaha merespons isu kontemporer seperti korupsi, judi online, kekerasan seksual, hingga kerusakan lingkungan dengan perspektif Pancasila.

Meski telah bertransformasi, BPIP tidak lepas dari tantangan. Secara internal, penguatan kapasitas SDM masih perlu ditingkatkan. Dari sisi eksternal, dasar hukum BPIP yang hanya berlandaskan Perpres membuat keberlanjutan lembaga ini rawan terancam jika ada pergantian pemerintahan. Banyak pakar mendorong agar BPIP diperkuat melalui Undang-Undang, agar legitimasi dan otoritasnya lebih kokoh. Selain itu, tantangan komunikasi publik juga menjadi catatan penting. Bagi sebagian masyarakat, BPIP masih dianggap lembaga elitis yang kurang dekat dengan kehidupan sehari-hari rakyat. Agar lebih relevan, strategi komunikasi BPIP perlu lebih partisipatif, inklusif, dan kontekstual sesuai dengan keragaman budaya Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka transformasi BPIP sangat mencerminkan keseriusan negara menjaga Pancasila agar tetap relevan di tengah perubahan zaman. Dari sekadar unit kerja sementara menjadi badan permanen, BPIP memiliki mandat strategis: merumuskan kebijakan, melakukan koordinasi, melaksanakan pendidikan dan pelatihan, hingga meninjau regulasi. Meski telah banyak program dilaksanakan, efektivitasnya masih dipengaruhi oleh legitimasi hukum yang lemah, keterbatasan koordinasi, dan tantangan komunikasi publik. Ke depan, penguatan BPIP melalui payung hukum Undang-Undang, pengembangan indikator kinerja yang terukur, serta strategi sosialisasi yang lebih dekat dengan masyarakat menjadi kunci agar Pancasila benar-benar kembali menjadi pedoman hidup bangsa. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya berhenti sebagai slogan, tetapi hadir nyata dalam perilaku, kebijakan, dan budaya bangsa Indonesia.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *