Di negara hukum seperti Indonesia, kedaulatan berada di tangan rakyat; namun pelaksanaannya terikat Undang-Undang Dasar. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan dilaksanakan menurut konstitusi, sehingga aspirasi politik wajib menempuh kanal sahih. Jalan konstitusional mencakup pemilu periodik, representasi melalui DPR/DPD, proses legislasi yang transparan, serta kontrol yudisial melalui Mahkamah Konstitusi. Selain itu, kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat—termasuk demonstrasi—dijamin, tetapi harus damai, tertib, dan patuh hukum.

Perubahan struktur kekuasaan negara, apalagi reposisi lembaga tinggi, menuntut mekanisme amandemen konstitusi dengan prasyarat deliberasi dan dukungan supermayoritas, bukan tindakan koersif atau ekstrakonstitusional. Dengan demikian, energi partisipasi rakyat disalurkan menjadi kebijakan yang legitimate, menjaga stabilitas, melindungi hak minoritas, dan memperkuat akuntabilitas penyelenggara negara.

Ringkasnya, kedaulatan rakyat bersifat normatif sekaligus prosedural: ia berdaulat secara prinsip, tetapi efektif hanya jika dijalankan melalui aturan main yang disepakati bersama dalam UUD. Tanpa prosedur itu, klaim kedaulatan berubah liar, rapuh, dan mengancam demokrasi konstitusional yang berbasis hukum.

Apakah DPR bisa “dibubarkan” melalui aksi demonstrasi?

Secara konstitusional, tidak ada mekanisme yang memberi kewenangan kepada siapa pun—termasuk Presiden—untuk membubarkan DPR. Pasal 7C UUD 1945 secara tegas melarang pembekuan maupun pembubaran, sebagai koreksi historis terhadap praktik otoritarian yang pernah merusak prinsip pemisahan kekuasaan. Larangan ini meneguhkan logika checks and balances:

parlemen memperoleh legitimasi dari pemilu periodik, sehingga akuntabilitasnya dikembalikan ke kotak suara, bukan ke dekret atau tekanan jalanan. Reformasi pasca-amandemen juga menyediakan instrumen korektif yang sah—uji materiil di Mahkamah Konstitusi, mekanisme etik melalui Mahkamah Kehormatan Dewan, hak angket, dan pemakzulan presiden—yang semuanya menjaga perimbangan, tanpa merusak struktur representasi.

Karena itu, seruan pembubaran DPR lewat aksi massa tidak memiliki dasar normatif; ia menempatkan kehendak seketika di atas prosedur konstitusional, berisiko menormalisasi tindakan ekstra-legal, dan memperlemah demokrasi. Perubahan arsitektur ketatanegaraan tetap dimungkinkan, namun hanya melalui amandemen UUD oleh MPR sesuai syarat berat deliberasi dan dukungan supermayoritas. Model ini menjaga kesinambungan pemerintahan, kepastian hukum, dan perlindungan minoritas dari tirani mayoritas.

Secara desain, keberadaan DPR bertumpu pada sirkulasi mandat melalui pemilu periodik—diselenggarakan setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR sebagaimana ditentukan Pasal 22E UUD 1945. Konfigurasi ini menempatkan akuntabilitas pada kotak suara: legitimasi diperoleh, diuji, dan dapat dicabut melalui mekanisme elektoral yang terukur, bukan melalui pembubaran di luar konstitusi. Siklus elektoral memfasilitasi evaluasi publik atas kinerja legislasi, fungsi pengawasan, dan representasi aspirasi; warga memberi sanksi atau penghargaan lewat pilihan politiknya.

Kerangka hukum pemilu—dengan penyelenggara independen, penegakan etik dan sengketa hasil di peradilan—menciptakan prosedur yang transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Dalam model ini, protes dan advokasi tetap sah sebagai kanal tekanan politik, tetapi berfungsi mendorong agenda, bukan meniadakan lembaga. Perubahan personel terjadi melalui pemilu atau pergantian antarwaktu, sedangkan perubahan arsitektur kelembagaan menempuh amandemen konstitusi. Dengan demikian, stabilitas demokratis dan kepastian hukum terjaga, sementara ruang koreksi tetap terbuka, selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat prosedural sekaligus normatif. Tanpa prosedur itu, legitimasi mudah rapuh.

Lalu, bagaimana dengan hak rakyat untuk berdemo?

Hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat dijamin UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3), sebagai jantung demokrasi konstitusional. Jaminan tersebut dioperasionalkan melalui UU No. 9 Tahun 1998, yang menetapkan asas, bentuk, dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum agar berlangsung damai, tertib, serta menghormati hak orang lain. Dalam kerangka itu, demonstrasi bukan sekadar boleh, melainkan diakui sebagai kanal partisipasi politik yang sah. Negara berkewajiban memfasilitasi dan melindungi, sementara warga wajib mematuhi prosedur pemberitahuan, penentuan tempat dan waktu, serta larangan membawa senjata dan melakukan kekerasan.

Pembatasan hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang dan harus memenuhi prinsip kebutuhan, proporsionalitas, dan tujuan yang sah—misalnya menjaga ketertiban umum. Dengan demikian, kebebasan berekspresi bekerja berdampingan dengan tanggung jawab sipil. Ketika koridor hukum dipatuhi, unjuk rasa menguatkan akuntabilitas dan memperkaya deliberasi publik; sebaliknya, pelanggaran prosedur berisiko mengaburkan pesan, menimbulkan kerugian, dan mereduksi legitimasi agenda. Karena itu, disiplin prosedural adalah prasyarat kebebasan yang berkelanjutan bagi demokrasi.

Oleh karena itu, ajakan atau tindakan yang bertujuan meruntuhkan tatanan konstitusional secara paksa atau melakukan kekerasan dapat masuk ke ranah tindak pidana terhadap keamanan negara menurut KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023). Namun, dengan kata lain kebebasan berekspresi tidak mencakup tindakan melawan hukum untuk “membubarkan” lembaga negara.

Jalur konstitusional bila rakyat ingin perubahan besar

Jika aspirasi publik adalah reformasi kelembagaan (misalnya mendesain ulang perwakilan), UUD 1945 menyediakan relnya melalui amandemen konstitusi di MPR (Pasal 3 dan Pasal 37). Secara garis besar, usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR, sidang perubahan harus dihadiri minimal 2/3 anggota, dan keputusan diambil dengan dukungan sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh anggota MPR. Ini adalah jalur yang sahih untuk mengubah arsitektur ketatanegaraan—termasuk jika ingin mengubah posisi/struktur DPR.

Di luar itu, mekanisme elektoral dan instrumen pengawasan berjalan setiap hari: pemilu lima tahunan, penegakan etik melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (berdasarkan UU MD3), serta judicial review undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Semua ini adalah cara-cara konstitusional untuk menuntut perbaikan tanpa merusak tatanan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kesimpulannya adalah pertama, membubarkan DPR lewat aksi demo bertentangan dengan arsitektur UUD 1945—karena UUD tidak membuka pintu pembubaran DPR dan justru melarang pembubaran oleh aktor sekuat Presiden (Pasal 7C).

Kedua, Aksi demonstrasi damai adalah hak konstitusional warga (Pasal 28E ayat (3)) dan diatur rinci oleh UU 9/1998; tetapi hak ini tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan pembubaran lembaga negara di luar prosedur konstitusi.

Ketiga, Perubahan kelembagaan harus ditempuh melalui amandemen UUD di MPR sesuai Pasal 37, dan/atau melalui pemilu periodik (Pasal 22E). Itulah kanal sahih untuk menyalurkan kedaulatan rakyat dalam negara hukum.

Maka secara umum, demonstrasi boleh—bahkan penting—untuk menekan perubahan, tetapi “pembubaran DPR oleh rakyat” lewat demo adalah langkah yang melanggar konstitusi.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *