Hati dengki terhadap kemajuan seseorang adalah fenomena psikologis yang kompleks dan multifaset. Dalam masyarakat yang kompetitif, merasa iri atau cemburu terhadap keberhasilan orang lain bisa menjadi reaksi alami. Namun, ketika perasaan ini berkembang menjadi kebencian dan keinginan untuk merendahkan pencapaian orang lain, ini bisa menjadi masalah serius bukan hanya bagi individu yang merasakannya, tetapi juga bagi komunitas dan lingkungan sosial secara keseluruhan. Tak terkecuali dilingkungan birokrasi yang penuh dengan persaingan karir dan jabatan.
Salah satu faktor utama yang memicu perilaku ini adalah ketidakpuasan pribadi. Orang yang merasa tidak puas dengan kehidupannya sendiri cenderung lebih mudah merasa iri terhadap keberhasilan orang lain. Dalam Social Identity Theory yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner, menekankan bahwa bagian dari konsep diri individu diperoleh dari identifikasi mereka dengan kelompok sosial tertentu. Ketika individu merasakan bahwa identitas sosial mereka terancam oleh kesuksesan dari seseorang di luar kelompok mereka (atau bahkan dalam kelompok mereka) yang mungkin dianggap sebagai saingan, mereka bisa merespons dengan rasa iri dan perasaan tidak suka.
Apabila kita merujuk dalam teori tersebut, maka ketika seseorang melihat orang lain mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapainya, ini dapat memicu keinginan untuk meremehkan pencapaian tersebut sebagai mekanisme pertahanan untuk melindungi harga dirinya. Oleh karena itu, kritik yang tidak konstruktif seperti menuduh orang lain melakukan plagiat atau Artificial Intelligence (AI) ketika orang berhasil dalam penulisan karya ilmiahnya adalah cara untuk menurunkan nilai pencapaian orang lain agar mereka merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri.
Selanjutnya, kurangnya pengakuan sosial juga dapat berkontribusi. Dalam budaya di mana kesuksesan seringkali diukur melalui pengakuan dan pujian dari orang lain, individu yang merasa kurang dihargai mungkin menyerang orang lain yang mendapatkan pujian tersebut. Dengan menyerang orang lain, mereka berharap masyarakat akan mengalihkan perhatian dan mungkin meragukan pengakuan yang diterima oleh orang yang sukses tersebut. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan dan inovasi.
Di samping itu, edukasi dan pengalaman juga berperan dalam perilaku ini. Orang dengan wawasan yang sempit atau kurangnya pemahaman tentang kerja keras yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan mungkin lebih mudah menganggap bahwa prestasi orang lain diperoleh melalui cara-cara yang tidak sah. Memahami proses dan tantangan yang ada di balik sebuah prestasi dapat mengurangi kecenderungan untuk membuat asumsi negatif dan memberikan apresiasi yang lebih tulus terhadap pencapaian orang lain.
Kemudian, ada faktor psikologis seperti rasa rendah diri dan kurangnya rasa percaya diri. Ketika seseorang tidak yakin akan kemampuan mereka, mereka mungkin mencoba untuk mengkompensasi perasaan ini dengan mengkritik keberhasilan orang lain. Rasa tidak aman ini membuat individu cenderung melihat orang lain sebagai ancaman yang harus dinetralkan melalui kritik negatif dan peremehan.
Mengatasi hati dengki dan mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap kemajuan orang lain dikalangan birokrasi memerlukan usaha yang sadar. Penting untuk fokus pada pengembangan diri dan mengenali bahwa kesuksesan orang lain tidak mengurangi potensi kita sendiri. Dukungan dari Lembaga dan Masyarakat, melalui apresiasi yang jujur dan ruang untuk semua orang agar berkembang, juga dapat membantu mengurangi kecenderungan hati dengki.
Dengan memahami akar penyebab dan dampak dari perilaku ini, ada harapan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif, di mana setiap individu bersemangat dalam bekerja dan termotivasi untuk merayakan keberhasilan orang lain tanpa memandangnya dengan kebencian atau kecemburuan.
Penulis : Yakob KM Ismail, Pengamat Sosial dan Politik, Dosen Universitas Kalimantan (Uniska) Banjarmasin.
