Dalam hampir satu abad perjalanan sejarah Indonesia, pembangunan politik dan demokrasi masih berusaha menemukan bentuk ideal yang dapat mencerminkan harapan rakyat. Sejak awal kemerdekaan, cita-cita para pendiri bangsa untuk menciptakan negara yang adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjadi landasan bagi perjuangan bangsa ini. Namun, perjalanan menuju demokrasi yang ideal, yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, ternyata mengalami banyak tantangan.
Satu tantangan utama adalah keinginan berkuasa dari sejumlah individu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya di atas kepentingan bangsa dan negara. Ketidakpuasan yang muncul akibat praktik politik yang sering kali tidak transparan, korupsi, serta hoaks, semakin memperumit upaya menuju sistem demokrasi yang sehat. Banyak kalangan yang terjebak dalam permainan kekuasaan, alih-alih mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Inilah yang membuat cita-cita untuk mencapai demokrasi yang ideal begitu sulit diraih. Rakyat yang berharap akan pemerintahan yang adil sering kali terpaksa menghadapi kenyataan pahit dari tindakan dan kebijakan yang lebih mementingkan kepentingan segelintir orang. Meskipun telah ada kemajuan dalam berbagai aspek, seperti desentralisasi dan kebebasan berpendapat, tantangan-tantangan ini terus mengingatkan kita akan pentingnya kembali pada nilai-nilai dasar yang diusung oleh para pendiri bangsa.
Melihat ke depan, harapan untuk mencapai bentuk demokrasi yang lebih baik dan lebih sesuai dengan cita-cita Pancasila masih ada. Ini adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat—dari pemerintah, partai politik, hingga rakyat biasa—untuk terus berjuang bersama demi mewujudkan negara yang benar-benar adil dan makmur. Hanya dengan komitmen yang kuat dan kesadaran kolektif, cita-cita luhur bangsa ini bisa kembali hidup dan memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Partai Politik dan Penguasa : Berlawanan atau Mendukung
Kita semua tentu sudah mendengar berita tentang pertentangan antara elit partai dan aktivis demokrasi dalam memenuhi kepentingan masing-masing. Penelitian oleh Levitsky dan Way dalam artikel mereka yang berjudul “Authoritarianism, Elections, Democracy?” menjelaskan bahwa karakter dari partai yang berkuasa, terutama yang terbentuk di masa perjuangan, bisa menjadi kekuatan yang mengikat dan membuat rezim otoriter lebih kuat.
Mereka menunjukkan adanya hubungan yang rumit antara pemilihan umum yang kompetitif dan demokrasi. Menurut mereka, hanya mengadakan pemilihan umum saja tidak cukup untuk menjamin adanya demokrasi yang sebenarnya. Ada ambang batas daya saing tertentu yang perlu dipenuhi agar pemilihan tersebut benar-benar bermakna.
Fenomena inilah yang disebut “otoritarianisme kompetitif” menggambarkan situasi di mana pemilihan umum dilaksanakan, tetapi kekuasaan tetap dikuasai oleh rezim otoriter. Dengan kata lain, meskipun ada pemilihan, hal itu tidak menjamin adanya kesempatan yang sama bagi semua untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa meskipun pemilihan umum diadakan, ekosistem politik yang adil dan demokratis masih dalam perjalanan panjang menuju pencapaian yang ideal.
Apabila kita kaitkan dalam konteks sistem politik kontemporer, pemilihan umum sering dianggap sebagai indikator utama dari demokrasi. Namun, keberadaan pemilihan umum semata tidak serta merta mendefinisikan demokrasi liberal. Sebaliknya, ada ambang batas daya saing tertentu yang diperlukan untuk memastikan bahwa pemilihan tersebut berfungsi sebagai alat partisipasi publik yang autentik dan bukan sekadar formalitas. Oleh karena itu, menurut pandangan peneliti ini mengeksplorasi hubungan kompleks antara pemilihan umum yang kompetitif dan demokrasi, dengan fokus pada konsep “otoritarianisme kompetitif.”
Fenomena ini menggambarkan situasi di mana pemilihan umum diselenggarakan, tetapi kekuasaan tetap berada di tangan rezim otoriter yang menggunakan berbagai metode untuk mempertahankan kendali. Dalam skenario ini, pemilihan tidak berfungsi sebagai sarana untuk menggugurkan kekuasaan, melainkan sebagai alat legitimasi bagi rezim yang telah berkuasa. Dengan demikian, penting untuk memahami bagaimana otoritarianisme kompetitif dapat muncul dan beroperasi dalam konteks pemilihan umum yang berpura-pura demokratis.
Terkait dengan hal tersebut, peristiwa ini membuka ruang bagi pemahaman tentang dinamika politik di negara-negara yang menghadapi tantangan dalam transisi menuju demokrasi sejati, menggambarkan bagaimana elemen-elemen seperti manipulasi institusi, kontrol media, dan penggunaan kekuatan represif berkontribusi pada keberlangsungan rezim otoriter di tengah rutinitas pemilu. Dengan menjelajahi berbagai studi kasus dan perspektif teoretis tersebut, diperlihatkan wawasan mendalam tentang bagaimana pemilihan umum dapat berfungsi dalam lingkup otoritarianisme kompetitif, serta implikasinya terhadap masa depan demokrasi global.
Analisis : Demokrasi dan otoritarianisme kompetitif
Dalam kajian tentang otoritarianisme kompetitif ini, kita menemukan fenomena menarik di mana rezim otoriter menggunakan institusi dan mekanisme demokrasi untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan mereka. Di sini, pemilihan umum sering kali menjadi alat yang strategis, bukan hanya sebagai sarana untuk memberikan suara, tetapi sebagai cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa rezim tersebut menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, meskipun dalam praktiknya jauh dari itu.
Salah satu perspektif penting dalam memahami dinamika ini datang dari penulis Levitsky dan Way. Mereka menunjukkan bahwa rezim hibrida ini—yang menggabungkan unsur-unsur otoritarianisme dengan elemen demokrasi—menyebabkan munculnya suasana yang sangat kompleks. Rezim tersebut sering kali menerima ciri-ciri formal demokrasi, tetapi dengan sedikit sekali ruang untuk persaingan politik yang nyata. Sementara hak-hak politik dan sipil dasar sering kali diabaikan, legitimasi kekuasaan tetap dipertahankan dengan memanfaatkan pemilihan umum sebagai wajah publik yang seolah-olah demokratis.
selanjutnya juga Levitsky dan Way berargumentasi bahwa karakter partai yang berkuasa menjadi kunci dalam mempertahankan kohesi dan ketahanan rezim otoriter ini. Partai yang muncul dari perjuangan politik yang sengit cenderung lebih disiplin dan terorganisir. Pertemuan antara patronase—di mana dukungan politik diberikan dengan imbalan tertentu—dan mobilisasi ideologis menjadikan partai ini mampu mengurangi kemungkinan pembelotan di kalangan anggota mereka. Dengan cara ini, rezim dapat memperkuat kapasitas mereka untuk menekan oposisi, terutama di saat-saat krisis.
Singkatnya, dalam dunia yang dipenuhi dengan ketidakpastian politik, otoritarianisme kompetitif menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat bertahan dengan memanfaatkan sistem yang seharusnya memberikan suara dan pilihan kepada rakyat, tetapi dalam kenyataannya, sering kali hanya menjadi alat untuk mempertahankan kontrol. Melalui pemahaman ini, kita dapat lebih menghargai kompleksitas interaksi antara demokrasi dan otoritarianisme serta dampaknya bagi masyarakat.
Disamping itu, dalam penelitian menarik yang dilakukan oleh Junisbai, kita diajak untuk memahami ketahanan otoritarianisme di kawasan Eurasia pasca-Soviet. Situasi di wilayah ini sangat kompleks, di mana elite kapitalis cenderung enggan menantang kekuasaan otokrat yang ada. Mengapa demikian? Junisbai menjelaskan bahwa fenomena ini terkait erat dengan konsep “reiderstvo,” sebuah istilah yang menggambarkan hubungan rumit antara politik dan ekonomi yang mendorong elit otoriter untuk mempertahankan kendali mereka.
Reiderstvo menciptakan lingkungan di mana hak milik sering kali lemah, dan peluang untuk meraih keuntungan melalui perburuan rente—yaitu memperoleh keuntungan ekonomi tanpa sumber daya yang jelas—menjadi sangat menarik. Elite yang terjebak dalam sistem ini lebih memilih untuk bersekongkol dengan rezim otoriter daripada mengambil risiko menantangnya, karena hal itu dapat mengancam posisi dan kekayaan mereka.
Dengan memanfaatkan struktur yang ada, rezim otoriter dapat mengukuhkan kekuasaan mereka di tengah tantangan dari luar. Melalui penguasaan terhadap hak milik dan penegakan kendali yang kuat, mereka mampu menghindari ancaman dari oposisi maupun gerakan pro-demokrasi. Dalam konteks ini, ketidakberanian elite untuk mendukung perubahan politik menunjukkan betapa dalamnya pengaruh mekanisme pemangku kekuasaan dalam mempertahankan stabilitas otoriter.
Melalui analisis Junisbai ini, kita tidak hanya melihat ketahanan otoritarianisme dari sudut pandang politik, tetapi juga sebagai hasil dari jalinan ekonomi yang menyertainya. Ini menggambarkan betapa sulitnya untuk mengubah rezim yang telah berakar kuat dalam struktur sosial dan ekonomi, serta tantangan besar yang dihadapi oleh setiap upaya untuk mendorong transformasi menuju demokrasi di kawasan Eurasia.
searah seperti yang disampaikan oleh Junisbal, Weyland memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana ideologi mempengaruhi gerakan oposisi dalam konteks rezim otoriter. Weyland menyoroti peran “heuristik” ideologis, yang merupakan jalan pintas mental yang sering digunakan aktivis untuk membuat keputusan. Meskipun niat mereka mungkin tulus—yaitu untuk menumbangkan rezim yang menindas—pengunjuk rasa terkadang terjebak dalam bias kognitif yang dapat menghasilkan tindakan yang prematur dan berlebihan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa selain dari semangat perlawanan, strategi yang diambil oleh oposisi tidak selalu efektif. Dalam beberapa kasus, tindakan yang terlalu terburu-buru atau kurang terencana justru bisa memperkuat posisi rezim. Ketika aksi protes tidak dikelola dengan baik, bisa jadi hal itu memberikan rezim alasan untuk menanggapi dengan kekerasan atau bentuk penindasan lainnya, sehingga mengurangi peluang sukses gerakan tersebut.
Dalam analisis ini juga membahas berbagai studi yang menggali aspek-aspek otoritarianisme, pemilihan umum, dan dinamika demokrasi di negara-negara seperti Venezuela, Rusia, dan Amerika Serikat. Ulasan-ulasan ini menyoroti betapa kompleknya interaksi antara sejarah, struktur kelembagaan, dan pilihan politik yang tidak terduga, semua faktor ini berperan dalam bentuk karakter rezim politik di masing-masing negara.
Secara keseluruhan, kajiannya mengungkapkan betapa pemilihan umum, kekuasaan partai, dan hubungan antara politik serta ekonomi saling berinteraksi dalam memperkuat rezim otoriter. Lebih jauh lagi, hal ini menegaskan bahwa strategi dan upaya perlawanan dari oposisi sering menghadapi berbagai rintangan yang dapat menghalangi tujuan mereka untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Dengan pemahaman ini, kita bisa lebih menghargai kerumitan perjuangan melawan otoritarianisme dan pentingnya strategi yang matang dalam menghadapi tantangan yang ada.
Penulis : Yakob KM Ismail, Pengamat Sosial dan Politik
