Digitalisasi pemerintahan kini menjadi wajah baru birokrasi Indonesia. Dari urusan pajak, layanan kependudukan, hingga perizinan usaha, hampir semuanya bisa diakses lewat aplikasi. Sekilas, ini kabar yang patut dirayakan. Bayangan panjang antrean di kantor pemerintahan perlahan berganti dengan sentuhan jari di layar ponsel. Birokrasi yang dulu identik dengan lamban, berbelit, dan penuh tumpukan berkas, kini dituntut tampil serba cepat, transparan, dan efisien.
Namun, pertanyaan penting muncul: apakah percepatan teknologi ini otomatis menghadirkan pelayanan yang lebih adil dan beradab? Ataukah birokrasi kita sedang menuju wajah baru yang justru dingin, impersonal, dan kehilangan ruh kemanusiaan?
Teknologi memang bisa memangkas prosedur, tetapi ia juga berisiko mereduksi interaksi manusia. Layanan publik bisa saja selesai dalam hitungan detik, tetapi bagaimana dengan warga yang tidak akrab dengan gawai pintar? Bagaimana dengan masyarakat di pelosok yang akses internetnya masih tersendat? Digitalisasi, tanpa pijakan nilai kemanusiaan, bisa berubah menjadi pagar eksklusif yang hanya ramah bagi mereka yang melek teknologi.
Di sinilah tantangan sesungguhnya. Birokrasi digital tidak boleh berhenti pada jargon efisiensi, melainkan harus memastikan bahwa setiap inovasi tetap berpihak pada rakyat. Teknologi seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok pemisah. Ia harus menjadi sarana untuk memanusiakan pelayanan, bukan sekadar mempercepat angka kinerja.
Karena itu, pertanyaan tentang arah digitalisasi birokrasi pada dasarnya adalah pertanyaan tentang nilai: apakah kita sekadar mengejar kecepatan, ataukah kita juga menjaga keadilan, empati, dan martabat manusia di dalamnya?
ASN di Tengah Arus Digital
Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah ujung tombak layanan publik. Mereka bukan sekadar operator sistem yang menjalankan aturan, melainkan wajah negara yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Setiap keputusan yang mereka ambil—sekecil apa pun—seharusnya mencerminkan sila-sila Pancasila: adil, beradab, mengutamakan musyawarah, menjaga persatuan, dan berpihak pada keadilan sosial.
Namun, kenyataan sering berbicara lain. Survei KPK masih menunjukkan praktik gratifikasi, kolusi, dan nepotisme di tubuh birokrasi. Ombudsman RI mencatat ribuan aduan masyarakat tiap tahun: layanan publik yang molor, prosedur yang berbelit-belit, hingga sikap diskriminatif dari oknum petugas. Rakyat yang datang dengan harapan sering pulang dengan kecewa.
Digitalisasi birokrasi semula dipandang sebagai obat mujarab. Layanan daring diyakini bisa memotong jalur panjang birokrasi dan menutup ruang pungutan liar. Tetapi, faktanya tidak sesederhana itu. Sistem digital memang bisa memangkas tatap muka, tetapi juga menghadirkan tantangan baru: kebocoran data pribadi warga, manipulasi algoritma yang bisa menguntungkan segelintir pihak, hingga diskriminasi digital bagi mereka yang tinggal di daerah tanpa akses internet memadai.
Di sinilah letak persoalannya. Teknologi hanyalah alat. Ia bisa menjadi sarana mempercepat pelayanan, tapi juga bisa melahirkan bentuk ketidakadilan baru jika tidak diiringi dengan integritas dan komitmen etis ASN. Tanpa ruh Pancasila sebagai kompas moral, digitalisasi berisiko berubah menjadi wajah baru birokrasi yang kaku dan dingin—lebih sibuk mengejar efisiensi ketimbang memanusiakan rakyat.
Dilema Etika Baru
Era digital membawa janji efisiensi, tetapi juga melahirkan dilema etika yang tak bisa dianggap sepele. Aparatur Sipil Negara (ASN) kini dihadapkan pada situasi rumit yang menuntut kebijaksanaan lebih dari sekadar kemampuan teknis.
Pertama, persoalan privasi versus transparansi. Di satu sisi, ASN wajib melindungi data pribadi warga sebagai bentuk penghormatan atas martabat manusia. Namun, di sisi lain, publik juga menuntut keterbukaan informasi agar pemerintahan lebih akuntabel. Tanpa panduan etika yang jelas, ASN bisa terjebak: terlalu terbuka, data rakyat terancam; terlalu tertutup, publik kehilangan hak tahu.
Kedua, bias algoritmik. Banyak sistem digital kini bergantung pada data besar (big data) dan kecerdasan buatan. Namun, jika data yang dipakai tidak lengkap atau cenderung bias, keputusan yang lahir dari sistem bisa diskriminatif. Alih-alih menghadirkan keadilan, teknologi justru bisa memperlebar ketimpangan.
Ketiga, kesenjangan digital. Layanan daring memang memudahkan sebagian orang, tapi bagaimana dengan warga di pelosok yang internetnya masih tersendat? Bagaimana dengan masyarakat lanjut usia yang tidak terbiasa dengan aplikasi? Jika tak hati-hati, digitalisasi hanya ramah bagi mereka yang sudah melek teknologi, sementara kelompok rentan justru semakin tersisih.
Keempat, akuntabilitas teknologi. Saat sebuah aplikasi pemerintah mengalami kegagalan, siapa yang bertanggung jawab? ASN yang mengoperasikan sistem? Pembuat aplikasi? Atau pejabat pembuat kebijakan? Pertanyaan ini sering kali tidak terjawab, sehingga masyarakat yang dirugikan justru kebingungan mencari keadilan.
Inilah tantangan nyata digitalisasi birokrasi: ia memang membawa efisiensi, tetapi tanpa ruh Pancasila, ia berisiko melahirkan pelayanan publik yang kaku, dingin, dan eksklusif. Pancasila seharusnya menjadi kompas yang memastikan teknologi digunakan untuk memanusiakan, bukan sekadar mempercepat proses.
Mengapa Ruh Pancasila Memudar?
Masalah birokrasi kita sejatinya bukan terletak pada ketiadaan aturan. Regulasi sudah banyak, bahkan sering kali berlapis-lapis. Persoalan utamanya justru pada lemahnya internalisasi nilai. Banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) mampu menghafal sila-sila Pancasila, tetapi belum menjadikannya napas dalam kerja sehari-hari.
Budaya permisif terhadap pelanggaran kecil kerap dianggap hal lumrah—sekadar “uang terima kasih”, atau “sekali-sekali menolong kerabat”. Lama-kelamaan, hal kecil ini menumpuk dan menjadi kebiasaan yang menggerogoti integritas birokrasi. Ditambah lagi, intervensi politik dalam promosi jabatan membuat meritokrasi sering dikalahkan oleh kedekatan. ASN yang seharusnya bekerja profesional, akhirnya terjebak dalam tarik-menarik kepentingan.
Orientasi birokrasi pun cenderung teknokratis: mengejar target angka, grafik, dan laporan indah di atas kertas. Padahal, pelayanan publik bukan semata soal angka, tetapi soal rasa adil dan bermartabat.
Ironisnya, digitalisasi—yang digadang-gadang sebagai solusi—bisa saja mempercepat erosi nilai jika tidak dikawal dengan kompas moral. Sistem digital mungkin memangkas antrean dan mempercepat layanan, tetapi tanpa integritas, ia hanya memindahkan praktik lama ke ruang virtual. Pungli bisa berganti wajah menjadi manipulasi data, diskriminasi bisa terjadi lewat algoritma, dan ketidakadilan bisa tersembunyi di balik kode-kode aplikasi.
Karena itu, kunci perbaikan bukan semata menambah aturan atau mempercanggih teknologi, melainkan menanamkan nilai Pancasila secara nyata dalam setiap denyut birokrasi. Bukan sekadar dihafal, melainkan dihidupi—dalam sikap, keputusan, dan perilaku ASN sehari-hari.
Jalan Revitalisasi
Agar digitalisasi pemerintahan benar-benar sejalan dengan jati diri bangsa, ada beberapa langkah penting yang tidak bisa ditunda. Langkah-langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi menyangkut soal nilai, etika, dan teladan yang menjadi ruh birokrasi.
Pertama, Diklat Etika Digital. ASN tidak cukup hanya belajar cara menggunakan aplikasi atau mengoperasikan sistem. Mereka perlu dibekali dengan studi kasus nyata: bagaimana melindungi data pribadi warga, bagaimana bersikap di media sosial, hingga bagaimana menghadapi risiko bias algoritma dalam penyaluran bantuan sosial. Semua itu harus ditimbang dengan kacamata Pancasila, agar teknologi tidak semata cepat dan canggih, tetapi juga berkeadilan.
Kedua, Penguatan Integritas. Digitalisasi bisa saja memangkas peluang pungutan liar, tetapi tanpa integritas, praktik curang akan mencari jalan baru. Karena itu, penegakan hukum terhadap pelanggaran etika ASN harus tegas—baik di dunia nyata maupun di ruang digital. ASN yang melanggar jangan hanya ditegur, tetapi juga diberi sanksi jelas, agar publik percaya birokrasi sedang serius berubah.
Ketiga, Pedoman Etika Digital. ASN perlu pegangan praktis berbasis Pancasila. Misalnya, bagaimana menghadirkan sentuhan kemanusiaan meski layanan berlangsung daring, atau bagaimana memastikan keadilan dalam akses digital bagi warga di daerah terpencil. Pedoman ini akan menjadi “kompas” agar setiap klik dan unggahan tetap berpihak pada rakyat.
Keempat, Kepemimpinan Teladan. Tidak ada reformasi yang berhasil tanpa teladan dari atas. Pimpinan birokrasi harus menjadi contoh nyata dalam perilaku digital—jujur, transparan, dan akuntabel. Jika pemimpin berani terbuka dan bersih, bawahan pun akan meniru. Sebaliknya, jika pemimpin masih bermain-main dengan integritas, digitalisasi hanya akan jadi kosmetik.
Kelima, Teknologi untuk Akuntabilitas. Teknologi jangan hanya dipakai sebagai alat kerja, tetapi juga alat pengawasan. Sistem pengaduan digital yang aman, mudah diakses, dan transparan akan memberi ruang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya birokrasi. Dengan begitu, digitalisasi bukan hanya urusan efisiensi, tetapi juga sarana memperkuat kontrol publik.
Penutup: Klik dengan Nurani
Digitalisasi adalah keniscayaan, tetapi jangan sampai ia menyingkirkan nilai kemanusiaan. Pancasila harus tetap menjadi ruh yang menuntun setiap kebijakan, setiap layanan, bahkan setiap klik di layar komputer ASN.
Tanpa Pancasila, birokrasi digital hanya akan mengejar kecepatan, tetapi kehilangan jiwa. Dengan Pancasila, teknologi justru bisa menjadi jembatan menuju pelayanan publik yang lebih adil, inklusif, dan beradab.
Maka, pertanyaannya sederhana: saat kita klik layar untuk melayani rakyat, apakah nurani Pancasila ikut bergerak bersama jari kita?
